Kata Febri 6/10
Karya terbaru Joko Anwar, hadir dengan janji besar: sebuah thriller aksi distopia yang menggali isu sosial berat seperti diskriminasi rasial, kegagalan sistem pendidikan, dan trauma kolektif. Terdengar menarik bukan? Meski ambisius dan didukung kolaborasi dengan Amazon MGM Studios, film ini terhambat oleh eksekusi yang tidak konsisten, pengembangan karakter yang lemah, dan pendekatan yang terasa berlebihan.
Joko Anwar dikenal piawai mengemas kritik sosial dalam cerita yang memikat, seperti dalam Pengabdi Setan atau Perempuan Tanah Jahanam. Namun, di Pengepungan di Bukit Duri, ambisinya untuk menangani berbagai isu berat—rasisme, kekerasan remaja, kegagalan sistem pendidikan, hingga trauma sejarah seperti kerusuhan 1998—malah membuat narasi terasa terlalu penuh. Film ini mencoba memasukkan terlalu banyak elemen dalam durasi 1 jam 58 menit, sehingga cerita kehilangan fokus. Adegan-adegan awal, seperti penggambaran Jakarta yang porak-poranda, memang menciptakan atmosfer distopia yang mencekam. Namun, ketika cerita beralih ke konflik di SMA Duri, transisi terasa kaku, dan penonton dibiarkan bergulat dengan berbagai subplot yang tidak tuntas diselesaikan. Misalnya, motif Jefri (Omara Esteghlal) sebagai antagonis utama terasa dangkal karena latar belakangnya kurang dieksplorasi.
Salah satu kelemahan terbesar film ini adalah pengembangan karakter Edwin. Di awal, Edwin diperkenalkan sebagai guru seni yang dingin, misterius, dan tampak menyimpan rahasia besar, seolah ia akan menjadi pahlawan yang mengejutkan di akhir cerita. Namun, sepanjang film, Edwin justru terlihat pasif, terjebak dalam ketakutan dan kebingungan, tanpa perkembangan yang signifikan. Adegan di mana ia memesan minuman keras di bar bersama rekan guru terasa janggal dan tidak sesuai dengan citra awalnya sebagai sosok yang kaku dan terkontrol. Awalnya diajak untuk bersimpati pada Edwin sebagai korban diskriminasi, tetapi keputusan-keputusannya yang sering kali impulsif membuatnya sulit untuk disukai.
Karakter pendukung seperti Jefri dan gengnya juga tidak luput dari masalah. Naskahnya gagal memberikan kedalaman pada Jefri. Ia digambarkan sebagai pemimpin geng yang sadis, tetapi alasan di balik kebenciannya terhadap etnis Tionghoa hanya disinggung sekilas, tanpa penjelasan yang memadai.
Bagi penggemar Joko Anwar seperti saya rasanya film ini mungkin terasa seperti langkah mundur, terutama karena gagal menyeimbangkan intensitas thriller dengan kedalaman naratif yang biasanya menjadi kekuatan Joko Anwar. Udah balik dengan film Horor aja deh.
Sinopsis :
Berlatar Jakarta 2027, film ini mengikuti Edwin (Morgan Oey), seorang guru pengganti keturunan Tionghoa yang terjebak dalam kekacauan di SMA Duri, sekolah penuh siswa bermasalah.