Review : Weapons (2025)

Kata Febri 8/10

Tidak seperti yang digemborkan oleh para kritikus film ini bagi saya tidak begitu bikin mengejutkan, namun tetap menghibur karena menyajikan pengalaman sinematik yang intens, berlapis, dan penuh kejutan bagi yang referensi filmnya masih sedikit.

Cerita disampaikan melalui beberapa sudut pandang yang saling melengkapi. Setiap segmen, dari perspektif Justine, Archer, Paul, hingga Alex, menyumbang potongan puzzle yang membuat terus berpikir untuk menyusun benang merah. sengaja membingungkan dengan plot maju-mundur, menciptakan pengalaman yang aktif dan intelektual. Meski lambat di awal, pendekatan ini terasa rewarding bagi penonton yang sabar.

Salah satu kekuatan utama Weapons adalah sinematografinya yang berhasil menciptakan rasa tidak nyaman tanpa harus “berisik”. Penggunaan pencahayaan minim, sudut kamera yang tidak biasa, dan pengambilan gambar jarak jauh (misalnya, rekaman CCTV anak-anak berjalan ke hutan) memperkuat sensasi tidak nyaman.

Babak akhir Weapons menghadirkan perpaduan horor psikologis dan dark comedy yang absurd, membuat penonton terkejut sekaligus terhibur. Plot twist-nya tidak hanya mengejutkan, tetapi juga meninggalkan ruang untuk interpretasi.

Ending Weapons berhasil karena tidak berusaha memberikan jawaban yang rapi, melainkan mengajak untuk merenungkan misteri dan emosi yang tersisa. Kombinasi horor, dark comedy, dan ambiguitas membuatnya terasa segar dibandingkan film horor konvensional. Namun, ketidakjelasan ini mungkin terasa kurang memuaskan.

 

Sinopsis :

berlatar di kota kecil fiktif Maybrook, Pennsylvania, dan dibuka dengan adegan mencekam: pada pukul 02:17 dini hari, 17 anak sekolah dasar secara misterius keluar dari rumah mereka, berlari dengan tangan terentang seperti pesawat kecil, lalu lenyap tanpa jejak. Satu-satunya anak yang tersisa, Alex Lilly (Cary Christopher), menjadi pusat kecurigaan, sementara guru mereka, Justine Gandy (Julia Garner), dituduh sebagai “penyihir” oleh para orang tua yang panik, termasuk Archer Graff (Josh Brolin).

 

 

Berita terkait

Review : Frankenstein (2025)

Film Camp Sineas Jatim 2025, “Next Level Storytelling” yang Menyalakan Semangat Baru Perfilman Jawa Timur

Review : Guillermo del Toro’s Cabinet of Curiosities (2022)

Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda, menampilkan konten yang relevan, serta menganalisis lalu lintas situs. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie sesuai dengan kebijakan privasi kami. Read More