Review : The Tunnel to Summer, the Exit of Goodbyes (2022)

Kata Febri 6/10
Premisnya terdengar menarik, tetapi narasi film terasa berantakan. Film berdurasi 83 menit ini mencoba memadukan elemen romansa, drama keluarga, dan fiksi ilmiah, tetapi gagal menyeimbangkannya. Alur cerita sering kali terasa terputus-putus. Transisi antara momen emosional dan penjelasan tentang mekanisme terowongan terasa canggung, seolah-olah film ini tidak yakin apakah ingin menjadi drama karakter atau misteri supernatural. Aturan waktu di terowongan Urashima, yang seharusnya menjadi inti cerita, dijelaskan dengan samar dan tidak konsisten, membuat bingung. Misalnya, bagaimana terowongan memengaruhi waktu di dunia nyata sering kali kontradiktif, dan film tidak berusaha menjelaskan inkonsistensi ini. Akibatnya, elemen supernatural yang seharusnya memikat justru terasa sebagai gimmick yang kurang tergali.
Kaoru dan Anzu sebagai protagonis memiliki potensi untuk menjadi karakter yang kompleks, tetapi pengembangan mereka terasa setengah hati. Kaoru digambarkan sebagai remaja yang terluka karena kehilangan adiknya, tetapi emosinya jarang ditunjukkan secara mendalam. Ekspresi kesedihannya terbatas pada kilas balik yang repetitif dan dialog yang klise, seperti “Aku hanya ingin kembali ke masa itu.” sehingga yang nonton sulit merasakan ikatan emosional dengannya karena film tidak memberikan ruang untuk mengeksplorasi kepribadiannya di luar trauma. Anzu, di sisi lain, memiliki premis menarik sebagai gadis ambisius yang ingin menjadi seniman manga, tetapi motivasinya tidak pernah benar-benar dieksplorasi. Hubungannya dengan Kaoru, yang seharusnya menjadi jantung cerita, terasa dipaksakan.
Dengan durasi yang relatif pendek, film ini seharusnya mampu menyampaikan cerita yang padat dan emosional. Sayangnya, pacing-nya tidak konsisten. Sepertiga awal film terasa lambat, menghabiskan terlalu banyak waktu untuk memperkenalkan terowongan tanpa membangun ketegangan yang berarti. Sebaliknya, sepertiga akhir terasa terburu-buru, dengan konflik utama diselesaikan secara tergesa-gesa tanpa dampak emosional yang memadai.

Bagi yang mencari kisah emosional tentang waktu dan kehilangan, masih banyak karya lain yang jauh lebih memuaskan. Film ini mungkin layak ditonton sekali untuk keindahan visualnya, tetapi jangan harapkan pengalaman yang mendalam atau tak terlupakan.

Sinopsis :
Kaoru Tono, seorang remaja yang dihantui trauma kehilangan adiknya, dan Anzu Hanashiro, seorang gadis pendiam dengan ambisi besar. Mereka menemukan terowongan Urashima, sebuah tempat mistis yang bisa mengabulkan keinginan dengan memanipulasi waktu.

 

Berita terkait

Review : Frankenstein (2025)

Film Camp Sineas Jatim 2025, “Next Level Storytelling” yang Menyalakan Semangat Baru Perfilman Jawa Timur

Review : Guillermo del Toro’s Cabinet of Curiosities (2022)

Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda, menampilkan konten yang relevan, serta menganalisis lalu lintas situs. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie sesuai dengan kebijakan privasi kami. Read More