Review : The Black Phone 2 (2025)

Kata Febri 8/10

Salju dan mimpi beku membuat film ini seperti The Shining bertemu A Nightmare on Elm Street, tapi dengan hati yang lebih hangat soal ikatan keluarga

The Black Phone 2, sekuel dari film horor sukses di tahun 2021 karya Scott Derrickson, bukan hanya sekadar lanjutan cerita ini adalah perjalanan yang lebih liar, lebih berdarah, dan lebih religius, yang mengubah The Grabber menjadi semacam Freddy Krueger versi modern sambil mempertahankan esensi dingin dan traumatis dari film pertamanya.

Poin menarik adalah pengunaan “dimensi mimpi” yang dialami Gwen yang terhitung unik dalam medium film. Mimpi yang dialami Gwen bukanlah mimpi buruk biasa, tetapi secara fisik pun, ia berjalan persis seperti dalam mimpinya, atau sederhananya visualisasi ”dream walk”. Untuk membedakan dimensi nyata dan mimpi, sang sineas dengan cerdik menggunakan tone warna berbeda dengan grainy yang kontras. Jadi bisa membedakan dengan mudah dan transisi mimpi atau realita ini dominan dilakukan sepanjang filmnya.

Salah satu mimpi buruk paling mengerikan yang Dawn alami terjadi ketika ia menyaksikan wajah seorang anak terbelah oleh pecahan kaca. Potongan wajahnya terjatuh di lantai, sementara darah mengucur dari kepala si bocah yang tak lagi utuh, memperlihatkannya mengais sisa-sisa kehidupan yang masih tersisa. Brutal men..

Ethan Hawke tetap menjadi bintang utama di balik topeng atau lebih tepatnya, di balik mimpi. Penampilannya minim dialog tapi memberikan dampak maksimal dampak, setiap kemunculannya membuat ruangan terasa lebih dingin, dengan suara bernada rendah yang seperti bisikan setan. Desain makeupnya yang membusuk membuatnya terlihat seperti hantu yang lapar, dan Hawke membawa nuansa psikologis yang dalam, mengubah The Grabber dari penculik sederhana menjadi entitas supernatural yang haus jiwa.

Mason Thames sebagai Finney tumbuh pesat dari bocah penakut menjadi remaja yang tangguh tapi rapuh, lengkap dengan PTSD yang digambarkan realistis. Namun, bintang sebenarnya adalah Madeleine McGraw sebagai Gwen. Dia bukan lagi gadis kecil yang lucu, kini dia pahlawan yang tangguh, dengan kemampuan mimpinya yang membuatnya terlihat seperti peramal terkutuk. Chemistry saudara antara Thames dan McGraw adalah jantung film ini, mereka saling melengkapi sebagai kakak dan adik.

 

Sinopsis :

1982. Finney Shaw (Mason Thames) masih trauma setelah selamat dari The Grabber. Kini, adiknya Gwen (Madeleine McGraw) mulai bermimpi mengerikan, anak-anak dimutilasi di bawah danau beku, dan telepon hitam berdering dari alam kematian. Visi itu membawa mereka ke kamp musim dingin terpencil, tempat The Grabber (Ethan Hawke) bangkit kembali bukan sebagai manusia, tapi hantu pembalas di dunia mimpi. Bersama, saudara ini harus menghadapi iblis masa lalu sebelum es mencair dan neraka menelan mereka selamanya.

 

 

 

 

 

Berita terkait

Review : Frankenstein (2025)

Film Camp Sineas Jatim 2025, “Next Level Storytelling” yang Menyalakan Semangat Baru Perfilman Jawa Timur

Review : Guillermo del Toro’s Cabinet of Curiosities (2022)

Kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda, menampilkan konten yang relevan, serta menganalisis lalu lintas situs. Dengan melanjutkan penggunaan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie sesuai dengan kebijakan privasi kami. Read More