Kata Febri : 7/10
Film ini sejatinya tentang kisah cinta segitiga di antara tiga pemain tenis, cewek populer berbakat (Tashi), bad boy (Patrick), dan good boy (Art). Namun, hal klise tentang cinta tersebut bisa menjadi menarik ketika ambisi mereka kepada tenis mempunyai peran besar dalam membentuk konflik untuk perjalanan hubungan ketiganya.
Penceritaan film ini hadir dengan alur maju-mundur yang mengajak untuk mengumpulkan berbagai potongan cerita antara ketiga karakter tersebut. Alur maju-mundurnya juga membuat pengalaman menontonnya tidak terasa monoton. Penuturan “nonlinier” yang begitu rumit memang punya relasi dengan konflik psikologis di antara para tokoh utamanya. Pertandingan klimaks antara Art dan Patrick di turnamen challenger menjadi pegangan utama plotnya. Semua konflik sebelumnya berujung pada momen ini. Sepanjang kisahnya, latar belakang Tashi, Art, dan Patrick diceritakan secara sepenggal-sepenggal melalui kilas balik.
Terkesan dengan akting Zendaya karena berhasil mencuri perhatian dengan kehadirannya yang karismatik dan mendominasi. Zendaya berhasil menangkap kompleksitas karakter Tashi yang penuh gairah dan semangat, yang terjebak dalam cinta dan ketegangan antara dua pria. Bisa menjadi remaja bahkan bisa menjadi dewasa.
Yang gak biasa dan sepertinya agak menggangu bagi saya adalah sepanjang menonton filmnya, musik tekno selalu menjadi backsoundnya apapun adegannya. Mungkin sang sineasnya memang anak Disko.
Note, adegan threesomenya mungkin menjadi adegan terbaik.
Sinopsis :
tentang dua sahabat pemain tenis, yaitu Patrick Zweig dan Art Donaldson, yang menyukai satu cewek yang sama, yaitu Tashi Duncan yang juga merupakan atlet tenis. Namun belasan tahun setelah pertemuan pertama mereka, Tashi akhirnya menikahi Art, bahkan menjadi pelatihnya Art. Hingga pada suatu pertandingan yang mempertemukan Art dan Partick, ternyata masih ada urusan yang belum selesai di antara ketiganya.