KATAMEREKA: SURABAYA, “Cuma beli rokok sebungkus, eh dipalak tukang parkir,” keluh Risky warga Surabaya. Pengalaman ini mungkin bukan hal baru bagi sebagian besar kita, terutama saat berbelanja di minimarket atau sekadar ngopi santai di kedai favorit. Jerat juru parkir (jukir) liar seolah menjadi momok yang tak terhindarkan, merenggut rasa nyaman dan “merampok” uang receh yang sejatinya bisa jadi kembalian. Namun, di tengah kian memuncaknya keresahan ini, angin segar berhembus dari Balai Kota Surabaya.
Walikota Eri Cahyadi tak lagi main-main. Melalui Surat Edaran (SE) tertanggal 2 Juni 2025, ia mewajibkan minimarket di seluruh Surabaya untuk menyediakan jukir resmi yang mengenakan seragam berlogo perusahaan. Jika membandel? Jangan harap lahan parkir bisa beroperasi. Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tak akan segan menyegelnya, sesuai Perda Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perparkiran. Ini bukan sekadar gertakan, melainkan langkah nyata yang seolah menjadi jawaban atas jeritan hati para warga. Lantas, mungkinkah Surabaya benar-benar terbebas dari cengkeraman parkir liar yang selama ini meresahkan?
Agie Nugroho Soegiono, pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga (Unair), punya pandangan optimis. “Surabaya berkali-kali mengklaim sebagai smart city. Kalau teknologi, saya kira sudah semakin maju. Masalahnya, teknologi bukan hanya soal teknologi,” tuturnya. Menurut Agie, langkah Walikota Eri menertibkan jukir liar di minimarket sudah sangat tepat, dan ini sejalan dengan regulasi yang ada.
Dari kacamata sosial-ekonomi, kebijakan ini menyimpan potensi besar. Bayangkan, betapa leganya warga jika parkir di minimarket digratiskan, terutama bagi mereka yang hanya mampir sebentar untuk membeli kebutuhan seadanya. Ini bukan hanya soal penghematan Rp2.000 atau Rp5.000, tapi juga tentang mengembalikan hak warga atas ruang publik yang bebas dari pungutan liar.
Namun, Agie juga menitipkan “pekerjaan rumah” besar bagi Pemkot. “Nah ini PR Pemkot, bisa nggak warga Surabaya nggak hanya taat pada hukum, tetapi juga mulai berani ketika hal-hal mereka di ruang publiknya diganggu, ini harus dilawan bareng. Kalau nggak sekarang, kapan lagi?” imbuhnya.
Tantangan terbesar, menurutnya, ada pada komitmen Pemkot Surabaya. Bukan tidak mungkin akan ada potensi bentrok antara para preman atau jukir liar dengan para pengusaha yang patuh aturan.
Inilah mengapa peran Pemkot dalam menyediakan skema pendampingan dan pengawasan sangat krusial, terutama di area-area yang rawan. Keberhasilan beberapa kawasan di Surabaya Barat yang sudah berhasil “bersih” dari jukir liar bisa menjadi contoh terbaik.
“Rekomendasi strategisnya, saya kira harus ada rapid assessment, atau audit report. Jadi balik lagi ke komitmen Pak Eri, mau nggak tiap hari dapat laporan dari warga kalau ada bentrok,” pungkas Agie.
Pertanyaannya kini bukan lagi mungkinkah, melainkan seberapa kuat komitmen Pemkot Surabaya dan seberapa berani warga bersatu melawan praktik parkir liar. Hanya waktu yang akan menjawab, apakah Surabaya akan benar-benar menjadi kota yang nyaman, bebas dari pungutan liar, dan benar-benar menjadi kota smart yang berpihak pada warganya.