KATAMEREKA: SURABAYA, Bayangkan seorang anak kecil yang berdiri di depan tiga pintu sekolah: satu berpagar tinggi dengan nama “Garuda”, satu berukuran standar bertuliskan “Reguler”, dan satu lagi sederhana, nyaris tak bernama, hanya disebut “Rakyat”.
Inilah kenyataan yang mulai muncul dari wacana pengembangan tiga kategori sekolah: Sekolah Garuda, Sekolah Reguler, dan Sekolah Rakyat. Di atas kertas, ini bisa jadi strategi percepatan pembangunan pendidikan. Namun, di balik ambisi itu, muncul satu pertanyaan tajam, apakah ini tidak sedang menciptakan kasta-kasta dalam dunia pendidikan kita?, Satu sistem pendidikan , tapi tiga label, Satu niat baik, tapi potensi luka sosial yang diciptakan akan sangat dalam.
Pakar pendidikan Isa Ansori angkat bicara. Menurutnya, klasifikasi kelas sekolah ini berpotensi membentuk “kelas sosial baru” di dunia sekolah.

“Semangat pemerataan bisa tersandera ambisi sekolah unggul. Sekolah Garuda seolah jadi kasta tertinggi, Reguler di tengah, dan Sekolah Rakyat, yah, terdengar seperti sekolah untuk yang dianggap ‘kurang mampu'”, jelasnya saat dihubungi redaksi Katamereka.co.id.
Kalau begitu, di mana letak keadilan sosial dalam pendidikan kita? Apakah konsep “setara dalam belajar” mulai bergeser menjadi “siapa cepat dia dapat”?.
Kritik ini datang bukan semata soal bangunan sekolah atau labelnya. Lebih dalam dari itu, pendidikan sejati adalah soal proses menjadi manusia. Bukan hanya kumpulan angka rapor atau gelar akademis. Tapi bagaimana seseorang memahami dirinya, lingkungannya, dan dunia tempat ia berpijak.
Terlalu lama kita terjebak dalam pandangan bahwa pendidikan adalah jalan pintas menuju pekerjaan atau status. Padahal, seperti yang ditulis dalam banyak naskah pendidikan klasik yakni belajar adalah jalan hidup. Saat seseorang belajar hanya demi nilai, informasi akan cepat hilang. Tapi saat ia belajar karena rasa ingin tahu dan kebutuhan akan makna, di situlah lahir kebijaksanaan.
Sekarang coba tanya ke diri sendiri, Apakah sekolah kita hari ini mendorong anak-anak untuk tumbuh utuh, atau sekadar mendorong mereka lulus cepat?
Karena pendidikan bukan soal berapa banyak yang kita hafal, tapi siapa kita menjadi setelah proses itu. Maka saat sekolah mulai diberi kasta, bukan hanya murid yang dikotak-kotakkan, tapi juga nilai kemanusiaan dalam pendidikan itu sendiri yang terancam pudar.
Kita semua tahu, tidak semua anak terlahir di garis start yang sama. Tapi tugas pendidikan dan negara adalah meratakan lintasan, bukan menciptakan garis finish yang berbeda.
Jika benar wacana ini dijalankan, pemerintah dan para pengambil kebijakan perlu menjawab dengan jujur, Apakah tiga jenis sekolah ini dibangun untuk mempercepat kualitas pendidikan, atau diam-diam menormalisasi ketimpangan?
Karena generasi masa depan tak hanya butuh ruang belajar, tapi juga rasa dihargai dan kesempatan yang adil.
Dan itu hanya bisa terjadi kalau sekolah tidak lagi dibagi berdasarkan siapa punya apa, tapi siapa mau belajar untuk menjadi manusia yang utuh.