KATAMEREKA: SURABAYA, Rencana membangkitkan kembali wajah asli Gedung Negara Grahadi sisi Barat yang sempat hangus pada 30 Agustus 2025 menemui hambatan tak terduga berupa bahan bangunan yang harus orisinal. Bukan sekadar memilih material, tetapi mengejar standar cagar budaya yang menuntut keaslian hingga ukuran dan proses pengolahan yang artinya butuh waktu dan biaya lebih.
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, mengatakan pembangunan ini dialokasikan dari Bantuan Tak Terduga (BTT). Namun, sejak awal tim cagar budaya menegaskan satu syarat utama yakni bahan harus kembali seperti semula. “Pihak cagar budaya memutuskan bahwa harus kembali dibangun dengan originalitas, terutama adalah bahan bangunan kayu jati yang diameter dan panjangnya di luar yang ada di pasaran,” ujar Adhy saat ditemui di acara BPBD Jatim, Surabaya.
Tentunya kita akan bertanya, Mengapa tidak pakai kayu biasa, kan lebih mudah?. Permintaan kayu jati bukan sekadar nama semata, namun ukuran dan karakter kayu jati yang dulu dipakai berbeda dengan produk komersial modern. Kayu yang dimaksud harus dipasok dari Perhutani melalui proses penebangan khusus, diikuti pengeringan alami yang memakan waktu berbulan-bulan. Artinya, pengadaan kayu menjadi bottleneck utama yang menunda pengerjaan.
Adhy menambahkan bahwa selain kayu, cat yang akan dipakai pun bukan cat sembarang. Konon, cat pemutih yang dipakai pada Grahadi sisi Barat adalah jenis khusus asal Jerman yang anti luntur dan tahan kelembaban, yang dipercaya sudah dipergunakan sejak era kolonial. Sehingga mencari padanan atau impor kembali material semacam ini otomatis memperpanjang waktu dan menambah biaya.

Adhy Karyono – Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur
Sebelumnya pemerintah provinsi Jawa Timur telah menyiapkan anggaran sekitar Rp9 miliar. Namun karena kebutuhan material khusus dan proses yang harus dipatuhi demi menjaga nilai sejarah, Adhy mengakui angka itu kemungkinan besar akan naik setelah perhitungan ulang. Karena keterlambatan pengadaan bahan, opsi penunjukan langsung atau proses pengadaan baru diperkirakan baru bisa dilakukan pada Januari 2026.
“Kami ingin mempercepat pembangunan. Namun kami harus mematuhi masukan Tim Cagar Budaya. Kami dihadapkan dengan kondisi harus kembali membangun originalitas dengan hitungan-hitungannya dan itu memerlukan waktu,” tegas Adhy.
Kasus Grahadi Barat menyorot dilema klasik restorasi cagar budaya yakni memilih antara pemulihan cepat agar fungsi bangunan segera kembali, atau mengejar otentisitas yang menjaga nilai sejarah meski menuntut waktu dan biaya. Pilih cepat dengan bahan pengganti beres tapi dengan konsekuensi nilai historis tergerus. Atau Pilih otentik artinya pemprov bebas dari kritik konservator, namun proyek molor dan biayanya melejit.

Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, jalan tengahnya tampak jelas yaitu mengikuti rekomendasi cagar budaya demi menjaga warisan arsitektural. Tapi janji pemulihan fungsi publik dan simbol kota tetap tergantung kecepatan proses administrasi pengadaan serta ketersediaan material langka itu.
Tentunya kita semua sadar, bahwa renovasi Grahadi sisi Barat kini bukan sekadar proyek fisik semata, melainkan ujian komitmen terhadap pelestarian sejarah. Masyarakat, pemerhati seni budaya, dan pihak terkait perlu memantau perkembangan anggaran, timeline pengadaan, serta keputusan teknis yang memastikan Gedung Negara itu kembali berdiri dengan wajah yang tak hanya estetis, tetapi juga benar-benar orisinil.